Gagasan Nasionalisme dan Wawasan
Kebangsaan
dalam Novel Indonesia Modern.
oleh Anwar
Efendi
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Upaya
menggali gagasan nasionalisme dan wawasan kebangsaan dapat dilakukan dengan
memahami gagasan, konsep, dan pandangan yang disampaikan oleh para pemikir pada
masa lalu. Di samping melalui dokumen kesejarahan, gagasan, konsep, dan
pandangan tersebut juga dapat ditelusuri melalui karya-karya budaya. Salah satu
wujud hasil kebudayaan tersebut adalah karya sastra. Karya sastra dapat menjadi
sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan
mengenai suatu peristiwa sejarah. Pikiran, gagasan, dan pandangan pengarang
tersebut dapat berkaitan dengan rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang
dituangkan dalam karya sastra.
Nasionalisme adalah roh yang
menggerakkan seluruh sepak terjang semua elemen dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nasionalisme terbentuk dari
interaksi antarelemen di dalam suatu bangsa dan tanggapan bangsa itu terhadap
lingkungan, sejarah, dan cita-citanya. Gagasan itulah yang dipahami oleh
sejumlah pengarang Indonesia yang kemudian diekspresikan dalam novel-novel yang
ditulisnya. Gagasan nasionalisme dan wawasan kebangsaan diekspresikan oleh
pengarang melalui struktur naratif, seperti pada (a) cerita yang bertokoh dan
berlatar masa revolusi Indonesia, (b) sikap,
perilaku, dan gagasan tokoh, dan
(c) deskripsi narator.
Kata Kunci : nasionalisme dan wawasan kebangsaan
A. Latar Belakang
Persoalan bangsa yang akhir-akhir ini
mengemuka, bahkan menjadi semacam hantu adalah fenomena yang mengarah pada
disintegrasi bangsa. Lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan republik
Indonesai (NKRI) dan peristiwa separatis di Irian Jaya dan Aceh yang
menginginkan Papu Merdeka dan Aceh Merdeka, merupakan contoh nyata adanya
kecenderungan di atas. Di sinilah perlunya rasa nasionalisme dan wawasan
kebangsaan dimiliki oleh generasi muda, yang pada akhirnya diharapkan dapat
mengatasi kemajemukan yang ada.
Mencermati
fenomena yang terjadi tersebut, perlu kiranya ada suatu upaya untuk menggali
kembali rasa rasionalisme dan wawasan kebangsaan. Salah satu upaya untuk
menggali rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan dapat dilakukan dengan
memahami gagasan, konsep, dan pandangan yang disampaikan oleh para pemikir pada
masa lalu. Di samping melalui dokumen kesejarahan, gagasan, konsep, dan
pandangan tersebut juga dapat ditelusuri melalui karya-karya budaya yang
monumental.
Salah
satu wujud hasil kebudayaan tersebut adalah karya sastra. Hal ini karena .karya
sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran,
perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah, juga merupakan
penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi
pengarang. Pikiran, gagasan, dan pandangan pengarang tersebut dapat berkaitan
dengan rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang dituangkan dalam karya
sastra.
Sebagai
hasil kreativitas pengarang, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat,
sebagaimana pengarang yang menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kegiatan
penelaahan sastra dan masyarakat, pendekatan yang umum digunakan adalah
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan. Sebagai
dokumen sosial, sastra digunakan untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial.[1]
Karya sastra bukan hanya
sekedar permainan imajinasi, tetapi merupakan rekaman tata cara masyarakat
sezamannya sebagai perwujudan dari niat tertentu. Novel adalah cermin yang bisa
dibawa ke manapun dan paling cocok untuk memantulkan segala aspek kehidupan dan
alam. Sebagai gambaran struktur sosial, yang terdapat dalam novel adalah
gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu,
yang akhirnya mengarah pada sifat yang universal.[2]
Dari hasil rekaan pengarang,
dunia kenyataan dapat direkam dengan kreasi dan imajinasi. Kedudukan karya
sastra sebagai dokumen sosial dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi
pada saat karya sastra tersebut diciptakan. Situasi dam kondisi masyarakat akan
ikut mempengaruhi konsep pemikiran pengarang. Agar karya sastra tidak terjebak
pada kondisi sebagai catatan sejarah semata-mata, pada saat penciptaanya
pengarang tidak begitu saja menjiplak realita kehidupan.
Latar belakang sejarah dan
zaman serta latar belakang kemasyarakatan punya pengaruh yang besar dalam
proses penciptaan, juga dalam penulisan novel. Pengaruh tersebut tidak hanya
terbatas pada tema-tema yang diungkapkan akan tetapi juga terhadap struktur
karya sastra.[3]
Persoalan-persoalan zaman dan
kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu berpengaruh dan amat menentukan
pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya sastra yang
dihasilkannya. Pergeseran dan perubahan persoalan kemasyarakatan akan
menyebabkan pula pergeseran-pergeseran pemilihian tema. Awal abad kedua puluh
adalah masa bangsa Indonesia mulai mengenal kebudayaan Barat, suatu bentuk
kebudayaan baru. Pengenalan ini menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan diri
sendiri, kesadaran akan keterbelakangan sebagai bangsa. Hal itulah yang
melatarbelakangi lahirnya pergerakan-pergerakan kebangsaan yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Persoalan-persoalan tersebut tidak luput pula
menjadi tema-tema utama dalam karya sastra, khususnya novel yang dihasilkan
pada masa itu.
Apabila
kita merunut perkembangan hasil karya sastra Indonesia, dapat dikemukakan bahwa
pada awal-awal perkembangan novel-novel Indonesia banyak menampilkan tema
kemasyarakatan yang lebih bersifat kolektif. Hal itu tampak pada karya-karya
masa Balai Pustaka. Selanjutnya pada masa Pujangga Baru tema berkembang ke arah
yang lebih luas dan sifat kolektif semakin renggang. Secara ringkas dapat
digambarkan perkembangan tema dalam novel Indonesia yaitu bergerak dari
tema-tema yang bersifat kolektif dengan ikatan sosial yang kuat menuju kepada
persoalan-persoalan yang lebih bersifat individual dengan ikatan sosial yang
longgar dan bahkan tanpa adanya ikatan sosial.[4]
B. Konsep Nasionalisme dan Wawasan
Kebangsaan
Konsep nasionalisme dan wawasan
kebangsaan mengacu pada kesadaran suatu warga negara akan pentingnya
ketunggalan bangsa, nation state.[5] Konsep
tersebut bersifat idiologis dan disosialisasikan kepada setiap anggota (warga)
negara. Nasionalisme dan wawasan kebangsaan mengikat warga negara dalam
beberapa hal, yakni (a) memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat
memperkuat rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan
nilai-nilai patriotik, yaang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air, cinta
kepada tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa, cinta kepada milik
budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela tanah airnya, (c) jiwa, semangat
dan nilai-nilai kreatif dan inovatif, dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai
yang mampu membentuk kepribadian, watak dan budi luhur bangsa.[6]
Dalam suasana jiwa pasca-Indonesia
pengertian nasionalisme, patriotisme, dan sebagainya akan lebih jernih dan
menjelma sampai ke esensi. Hal itu disebabkan nasionalisme kini berarti
berjuang dalam membela kaum manusia yang terjajah, miskin dalam segala hal
termasuk miskin kemerdekaan dan hak penentuan pendapat diri sendiri; manusia
yang tak berdaya menghadapi para penguasa yang sewenang-wenang yang telah
merebut bumi dan hak pribadinya dan memaksakan kebudayaan serta seleranya
kepada si kalah.
Nasionalisme kini lebih pada
hikmah jati diri perjuangan melawan sang kuasa lalim yang secara peroangan
maupun struktural dan demi hari depan yang lebih baik dan adil. Perjuangan
tersebut bersifat universal bersama-sama dengan kawan sesama segenerasi muda
dan dari segala penjuru dunia.
Konsep kebangsaan tidak
semata-mata mengacu pada adanya keragaman kultural. Kebangsaan adalah suatu
konsep politik, yang perwujudannya hanya bisa diraih lewat upaya-upaya politik
pula. Dan upaya politik paling penting adalah menciptakan keadilan sosial, tegasnya
keberpihakan pada mereka yang lemah.
Hanya dengan kebangsaan yang menjamin hak politik warga negara untuk
menentukan dirinya sesuai dengan kulturalnya, maka masing-masing kelompok etnis
dan budaya yang tergabung di dalamnya akan terjamin menghayati identitasnya.[7]
Kebangsaan itu sendiri terjadi
dan terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Oleh karena
sejarah bersifat terbuka maka pembentukan dan penjadian itu tidak mengenal
bentuk akhir atau finalitas. Jadi kebangsaan
bukanlah suatu kenyataan, melainkan suatu cita-cita, aspirasi dan tuntutan khas
Indonesia. Kebangsaan itu adalah suatu persatuan Indonesia merdeka yang
mengusahakan keadilan sosial, terutama bagi mereka yang tertindas.
Nasionalisme
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari imperialisme dan kolonialisme Belanda,
karena sebenarnya nasionalisme merupakan rekasi terhadap bentuk kolonialisme.
Hubungan antara keduanya dapat dilihat dalam dua tataran, yaitu tataran universal
dan tataran kontekstual.[8] Dalam tataran universal nasionalisme
Indonesia pertama-tama adalah sebuah gerakan emasipasi, keinginan mendapatkan
atau membangun kembali sebuah dunia yang luas, bebas, yang di dalamnya dan
dengannya manusia dapat menghidupkan dan mengembangkan serta merealisasikan
dirinya sebagai subjek yang mndiri dan bebas. Nasionalisme yang demikian ini
dipertentangkan dan imperialisme, yakni upaya melawan segala gerakan yang
menghendaki dominasi, superioritas. Dalam tataran universal ini nasionalisme
seiring dengan gagasan pembebasan manusia pada umumnya.
Sementara
itu dalam tataran kontekstual, nasionalisme Indonesia merupakan kehendak untuk
membangun sebuah dunia yang di dalamnya manusia Indonesia, sebagai bagian dri
budaya ke-Timur-an, dapat merealisasikan dirinya secara bebas. Di samping itu,
manusia Indonesai bisa terlepas dari tekanan dan dominasi penjajahan Belanda,
sebagai representasi budaya Barat. Tataran kontekstual ini membatasi gagasan
pembebasan hanya pada hubungan antar-bangsa yang dapat membuatnya bertentangan
dengan gagasan pembebasan pada tataran yang lebih rendah.
Dalam
usaha untuk mewujudkan kehendak di atas orang-orang Indonesia tertarik ke dua
arah yang berlawanan, yaitu (1) ada yang bergerak ke masa lalu, dan (2) ada
yang bergerak ke masa depan. Mereka yang bergerak ke masa lalu menganggap dunia
itu sudah ada sebelumnya dan dapat ditemukan kembali. Sementara yang bergerak
ke masa depan mengganggap dunia itu sebagai sebuah bangunan yang akan atau
sedang dalam proses pembentukan.
Apabila
kita merunut sejarah dapat dideskripsikan cita-cita kebangsaan tersebut. Di
awal abad ini berupa cita-cita Indonesia untuk merdeka. Kemudian, di era 45-60
berupa tekad untuk menjaga keutuhan negara. Selanjutnya generasi 66 ingin
memurnikan pelaksanaan UUD 1945 dan menyejahterakan rakyat melalui pembangunan
ekonomi. Begitu seterusnya cita-cita kebangsaan tersebut harus selalu
dirumuskan dan dipahami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Setiap individu
ynag berada dalam lingkaran suatu generasi mempunyai kewajiban sejarah utntuk
menggali dan merumuskan cita-cita kebangsaan sebagai upaya menambah ukiran
sejarah perjalanan bangsa.
C.
Nasionalisme dalam Sastra Indonesia
Pembahasan
tentang nasionalisme dalam sastra pernah dilakukan oleh Keith Foulcher (1991)
dan Faruk (1995). Foulcher dalam telaahnya yang berjudul Pujangga Baru:
Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia,
mengungkapkan adanya kecenderungan tematis yang berupa gagasan akan
pentingnya kesadaran baru dari para sastrawan. Foucher melihat puisi-puisi yang
dimuat dalam Pujangga Baru memperlihatkan adanya upaya sastrawan masa itu untuk
membangun kebudayaan baru yang berbeda dari kebudayaan tradisional. Foucher
sampai pada suatu kesimpulan bahwa upaya tersebut pada dasarnya baru berupa
gagasan awal. Para sastrawan Pujangga Baru, menurut Foucher masih belum sampai
pada suatu posisi yang dapat membuat mereka bergerak bebas dan penuh percaya
diri dalam suasana kesusastraan dan kebudayaan yang baru sama sekali.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap karya sastra pada masa Pujangga
Baru, Foucher menangkap kesan bahwa kebaruan yang diperjuangkan oleh para
sastrawan pada masa itu merupakan suatu konsep yang bulat, utuh, jelas, dan
seragam.[9]
Kajian
tentang nasionalisme juga dilakukan oleh Faruk (1995) dalam tulisannya yang
berjudul Universalisme yang Menyangkal: Nasionalisme dalam Sastra. Dalam
kajian tersebut Faruk menekankan pembicaraan mengenai hubungan antara
nasionalisme dengan sejarah sastra Indonesia. Sejalan dengan kajian Keith
Foulcher kajian yang dilakukan oleh Faruk juga mengkaji perkembangan sastra
Indonesia pada periode Pujangga Baru.
Pada
awal pembahasannya Faruk memulai dengan memberi kritikan terhadap pembahasan
yang dilakukan Keith Foulcher. Faruk menganggap terdapat kekurangtepatan
anggapan yang dikemukakan oleh Foucher bahwa kebaruan itu merupakan suatu
konsep yang bulat, utuh, jelas, dan seragam. Oleh karena itu menurut Faruk
proyek Pujangga Baru bukanlah membangun sebuah dunia baru yang sudah tertentu
dan jelas. Akan tetapi membangun sebuah harapan akan adanya sebuah dunia baru,
bagaimanapun samar-samarnya, yang di dalamnya orang-orang Indonesia yang
terjajah akan dapat hidup dan merealisasikan diri secara lebih bebas dan
mandiri. Dunia baru itu dapat mengambil model yang berupa masyarakat dan
kebudayaan Barat, dapat pula berupa sintesis antara Timur dengan Barat serta
bahkan dapat pula disisipi dan dikacaukan oleh keinginan kembali ke masa lalu,
ke Timur. Hal itu dapat terjadi dikarenakan sebagai suatu idealisme, yang baru
dan yang lama itu pada dasarnya masih bersifat samar-samar.[10]
Puisi-puisi
sastrawan Pujangga Baru dengan setia
mengekspresikan kebutuhan metafisik atau universal dalam bentuk-bentuk
harapan-harapan dan kenangan-kenangan
yang samar-samar akan sebuah dunia baru. Dunia baru tempat masyarakat
Indonesia dapat merealisasikan dirinya secara bebas dan mandiri. Agar dunia
baru yang dibayangkan dapat diterima, dunia ideal yang dibangun itu dibayangkan
sebagai sebuah dunia yang universal. Dalam dunia tersebut hanya ada kepentingan
umum, kepentingan bersama. Kata “persatuan” menjadi sangat penting dalam
dunia semacam itu. Kata persatuan dan kebersamaan, menjadi sangat
produktif dalam karya sastra sebagai bangunan dunia imajiner.
Pada
akhir bahasannya, Faruk memberi catatan kritis terhadap kecenderungan
nasionalisme Pujangga Baru. Menurutnya, nasionalisme sastra tradisi Pujangga
Baru menjadi agak mengingkari historis mereka sendiri, yakni nasionalisme lokal
mereka. Bagaimanapun universalnya sifat nasionalisme yang diperjuangkan,
ternyata tetap dalam kerangka keterbatasan, khususnya adanya nuansa
kepentingan melawan dan menolak
masyarakat, ras, dan kebudayaan tertentu, yakni imperialisme dan kolonialisme
Belanda.
D. Gagasan
Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan dalam Novel Indonesia Modern
Tulisan ini berusaha mengungkap gagasan nasionalisme dan wawasan
kebangsaan yang terdapat dalam novel Indonesia modern dan perkembangan
nasionalismenya. Untuk itu, ditentukan secara purposif
novel yang dijadikan sebagai
sumber data, yakni novel yang mengandung gagasan
nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Kegiatan yang dilakukan dalam menentukan
sampel secara purposif yakni dengan melakukan pembacaan dan penelaahan.
Kegiatan pembacaan dan penelaahan tersebut di samping dilakukan terhadap
novel-novel Indonesia modern juga dilakukan pada hasil-hasil analisis baik
berupa kritik, esai maupun penelitian yang membahas novel tersebut.
Dari
hasil kegiatan pembacaan dan penelaahan tersebut ditemukan enam novel yang
secara esensial menampilkan gagasan nasionalisme dan wawasan kebangsaan sebagai
hal pokok yang dikaji dalam tulisan ini. Keenam novel tersebut yaitu: (1) Tak Ada Esok karya Mochtar Lubis, (2) Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis, (3) Bukan Pasar Malam karya Pramudya Ananta
Toer, (4) Burung-burung Manyar karya
Y.B. Mangunwijaya, (5) Burung-burung
Rantau karya Y.B. Mangunwijaya, (6) Para
Priyayi karya Umar Kayam
1. Wujud Gagasan Nasionalisme dan
Wawasan Kebangsaan
Sebagaimana dipahami bahwa dalam karya sastra (novel) pada
prinsipnya pengarang ingin menyampaikan “sesuatu”. Salah satu bentuk “sesuatu”
yang disampaikan itu adalah pemikiran tentang nasionalisme dan wawasan
kebangsaan. Dengan kata lain fenomena nasionalisme dan kebangsaan dijadikan
sebagai salah satu bahan dalam penciptaan karya sastra. Pada akhirnya hal itu
menjadi bagian dari bentuk pencerdasan baru bagi masyarakat pembaca,
khususnya berkaitan dengan pemahaman nasionalisme dan kebangasaan. Gagasan
nasionalisme dan wawasan kebangsaan dalam novel tampak melalui interaksi antar
tokoh, deskripsi pengarang, tingkah laku tokoh, dan gambaran peristiwa yanmg
terdapat dalam novel.
Sebagai upaya mempermudah pemahaman, dalam tulisan ini gagasan
nasionalisme dan wawasan kebangsaan dikelompokkan dalam tiga kategori. Ketiga
kategori tersebut selanjutnya dijadikan dasar dalam mendeskripsikan hasil telaah.
Penetapan kategori dilakukan berdasarkan hasil pemahaman terhadap nasionalisme
yang dikemukakan oleh Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisyhabana, Rahmat Witoelar,
dan Moerdiono. Kategori yang dimaksud yaitu (1) Nasionalisme gelombang pertama:
nasionalisme pra kemerdekaan,[11]
(2) Nasionalisme gelombang kedua: nasionalisme pasca kemerdekaan,[12]
dan (3) Nasionalisme gelombang ketiga:
nasionalisme Indonesia baru.[13]
Penetapan kategorisasi tersebut di
atas dengan pemikiran bahwa pada dasarnya nasionalisme merupakan suatu konsep
ideologis yang dinamis. Oleh karena itu ia memiliki dinamika internal yang
memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan realitas sosial kemasyarakatan yang
ada. Pembagian ini semata-mata didasarkan pada mata rantai sejarah kebangsaan di
Indonesia. Nasionalisme dan wawasan kebangsaan secara garis besar dapat dipihak
dalam tiga bagian, yaitu zaman sebelum merdeka, zaman setalah kemerdekaan, dan
zaman modern saat ini (Indonesia baru).
Tabel 1: Wujud Gagasan Nasionalisme dan
Wawasan Kebangsaan
No.
|
Kategori
|
Deskripsi
|
1.
|
Nasionalisme Gelombang Pertama : Nasionalisme
Pra-Kemerdekaan
|
a. Nilai Patriotisme
b. Rela berkorban
c. Strategi perjuangan
d. Kebersamaan dalam perjuangan
e. Motivasi dan makna perjuangan
f. Keyakinan dalam perjuangan
g. Nilai kemanusian dalam
perjuangan
|
2.
|
Nasionalisme Gelombang Kedua : Nasionalisme
Pasca-Kemerdekaan
|
a. Makna hakiki kemerdekaan
b. Merdeka bagi rakyat kecil
c. Kebebasan
d. Identitas kebangsaan
e. Perilaku kepemimpinan
f. Penegakan kebenaran
g. Menghilangkan penindasan
|
3.
|
Nasionalisme Gelombang Ketiga: Nasionalisme
Indonesia-Baru
|
a. Nasionalisme terbuka
b. Tujuan akhir perjuangan
c. Kecintaan pada kedamaian
d. Sejajar dengan bangsa lain
e. Sikap patriotisme baru
f. Penguasaan IPTEKS
g. Sikap dan semangat kemandirian
|
2. Pemahaman terhadap Gagasan Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan
a. Nasionalisme Gelombang Pertama: Nasionalisme
Pra-Kemerdekaan
Gagasan
nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang terungkap dalam sejumlah novel
Indonesia modern berhubungan dengan butir-butir
(a) sikap patriotisme, (b) rela berkorban, (c) strategi perjuangan, (d)
kebersamaan dalam perjuangan, (e) motivasi dan makna perjuangan, (f) keyakinan
dan perjuangan, dan (g) nilai kemanusiaan dalam perjuangan.
Sikap
dan jiwa kepahlawanan dapat dilihat dari sosok pribadi Sadeli sebagi tokoh
utama dalam novel Maut dan Cinta (MdC). Sadeli menyadari sepenuhnya
mengapa dia harus melibatkan diri dalam kancah revolusi.
Engkau tahu
revolusi kemerdekaan kita adalah untuk melepaskan bangsa kita dari kekuasaan
asing yang sekian lama telah menghisap darah dan tulang sunsum rakyat kita
Jika memang ada
ilmu kebal, mana bisa bangsa kita dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Tentu
kita bakal menang terus berperang. Malahan bangsa kita akan dapat menaklukan
seluruh dunia
Keterlibatan dalam kancah revolusi seringkali mengabaikan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat logis. Seringkali setiap perilaku
ditentukan oleh kesadaran menunaikan dan memenuhi kewajiban dan seringkali pula
tak ada alternatif pilihan. Bahkan pilihan yang bersifat pribadi pun harus
diabaikan.
Menyerang Jepang atau bertempur melawan Belanda di
rawa-rawa pantai Sumatera adalah perbuatan-perbuatan tanpa pertimbangan dingin
antara melakukan kewajiban yang membawa maut atau melarikan diri. Apalagi dalam
kedua kejadian itu tak ada keharusan memilih demikian.
Dia telah melihat kekuatan
cinta seorang wanita pada seorang lelaki. Dan dengan kekuatan cinta demikian
dia merasa akan dapat berbuat segala apa. Dia cinta pada Maria seperti juga dia
cinta pada kemerdekaan bangsanya. Dan kekuatan ini, dia yakin dakan mengalahkan
penjajah Belanda
Melalui
tokoh Johan dalam novel Tak Ada Esok (TAE), Moechtar Lubis menampilkan sosok
pribadi pejuang yang bangga melibatkan dari dalam kancah revolusi. Dia melihat
bahwa darah yang membasahi bumi dan mewarnai tanah tidak hanya sebatas gambaran
luka perjuangan. Merahnya darah mempunyai arti simbolis bagi diri dan semua
orang yang merelakan dirinya terlibat dalam perjuangan.
Dia merasa aman di bawah selimut tanah. Dalam pelukan
bumi. Bagai anak yang ingin kembali ke dalam pelukan kandungan ibunya. Dan
baginya darah merah yang mewarnai tanah dari luka-luka mempunyai arti simbolis.
Darah ibu yang melahirkan anak. Dia masih belum tahu apakah bumi itu yang
menjadi ibu, atau perjuangan kemerdekaan.
Dia tidak tahu, bahwa
dengan jiwanya yang sederhana itu dapat dia dapat merasa lebih mendalam.
Dilihatnya senapan yang dipegannya dengan penuh kasih. Rasa besi dalam
tangannya menimbulkan perasaan bahagia dalam hatinya. Perasaan bahwa dia
sesuatu dalam dunia ini.
Pentingnya pengorbanan tersebut
ditampilkan melalui pemikiran tokoh Sadeli dalam novel Maud dan Cinta (MdC).
Ini logika revolusi. Bangsa Ind hanya dapat merebut
kemerdekaannya jika ia bersedia bertempur dan dimana perlu bersedia mati.
Mereka gembira, karena dia
hidup dalam alam revolusi. Ikut dalam revolusi kemerdekaan bangsanya. Ikut
menulis sejarah bangsanya. Dan dengan demikian ikut merubah nasib umat
manusia
Pengorbanan dalam rangka pencapaian
tujuan perjuangan seringkali harus berbenturan dengan kepentingan yang sifatnya
pribadi. Dalam logika revolusi, seringkali kepentingan-kepentingan tersebut
harus dikalahkan.
Melalui tokoh Sadeli (MdC), Mochtar Lubis menampilkan seorang pejuang
yang harus rela mengorbankan segala kepentingan pribadinya. Dia rela untuk
tidak menikah hanya demi tuntutan keberhasilan perjuangan revolusi.
Yang maha penting adalah
revolusi kemerdekaan. Semuanya mesti tunduk pada perjuangan kemerdekaan.
Kepentingan diri sendiri, cinta, bahagia sendiri harus mengalah
Tak ada perjuanan tanpa
pengorbanan. Jika manusia hendak merubah nasibnya, maka dia harus berani dan
mau memberikan perngorbanan. Jika perlu sampai mengorbankan nyawanya sendiri
Belum pernah aku melihat
semangat perjuangan sesuci ini. Aku percaya akan menemukan yang kaucari selama
ini. Kebangkitan semangat manusia untuk membina persaudaraan dalam kemerdekaan
dan martabat manusia
Dengan
dimensi yang berbeda, dalam novel Bukan
Pasar Malam (BPM) Pramoedya menampilkan tokoh ayah, seorang pejuang yang
rela mengorbankan apa yang dimilikinya, termasuk harus mengabaikan anak-anaknya
demi kemerdekaan bangsanya. Dia merasa yakin bahwa pengorbanan dalam revolusi
tidak bisa semata-mata dipahami dengan logika semata. Kemerdekaan adalah cita-cita bersama. Oleh karenanya
harus ada saling perngorbanan di antara keragaman kepentingan.
Tapi ayah jarang betul di
rumah. Tapi kepergiannya di masa pendudukan itu bukan hanya akan berjudi saja.
Ayah berjuang terus untuk hidupnya republik
Tampilnya
seorang pemimpin pada situasi perjuangan sangat diperlukan. Itulah yang
disampaikan oleh Mangunwijaya dalam novel Burung-burung
Manyar (BBM), melalui gambaran sosok Soekarno sebagai api membakar
semangat.
Soekarno itu api. Kita butuh api. Tanpa
semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru separuh. Harus disalurkan secara
rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala
hal, termasuk diri sendiri
Melalui pertimbangannya yang mendalam, Mochtar Lubis menegaskan bahwa dalam
perjuangan tidak sebatas adanya strategi tetapi yang lebih penting harus ada
landasan filosofis yang mendasari setiap tindakan yang dilakukan. Dengan
demikian setiap persoalan yang muncul dapat dipahami dalam proporsi yang
sebenarnya
“Barangkali kita perlu
berfilsafat. Nampaknya dalam pemberontakan merebut kemerdekaan ini kita kurang
berfilsafat. Hingga terbenam dan tertimbun oleh soal-soal kecil yang dibikin
menjadi besar dan penting. Dan kita hanya tinggal rendah dan berkubang di tanah
saja, menjadi binatang revolusi yang gila darah, gila kerusakan, dan gila
berkelahi
Mangunwijaya dalam BBM
menampilkan betapa besarnya peran Syahrir dalam aktivitas revolusi. Bahkan
dengan ekstrim dinyatakan bahwa yang menjadi penggerak dan pemikir utama
perjuangan revolusi adalah Syahrir.
Dalam BBM ditampilkan
sosok Teto (Setadewa) seorang pemuda yang karena kehendak zaman terpaksa harus
bergabung dengan Belanda. Berdasarkan penggambaran Teto, di pihak Belanda atau
penjajah pada umumnya strategi perjuangan diplomasi merupakan strategi yang
jitu. Strategi itulah yang dilakukan oleh Syahrir.
Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati
hidupnya Hindia Belanda. Sebab dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia
memikat. Seorang Soekarno, ia boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa
kuli tolol itu, tetapi ia tidak berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam
meja penguasaan dunia. Semakin banyak Soekarno semakin lekas Republik ini
hancur
Strategi perjuangan yang kooperatif juga ditampilkan
oleh Pramoedya melalui tokoh ayah dalam novel BPM. Dia harus bekerja pada Belanda hanya semata-mata agar dapat
mengambil peran dalam perjuangan.
Akhirnya kelak tahu juga aku, bahwa ayah
Tuan itu tidak lain daripada salah seorang pemimpin pemerintahan gerilya –
sekalipun jadi pengawas sekolah angkatan Belanda
“Aku sudha lama kenal pada
marhum ayah Tuan. Kami dulu mengembara menjalankan tugas di daerah gerilya. Ya,
aku kenal betul ayah Tuan. Ia bekerja pada Belanda, tapi terus saja marhum
bekerja bawah tanah.
Dengan adanya semangat kebersamaan
itulah nasionalisme di Indonesia dapat mengatasi semangat kesukuan, keagamaan,
dan komunitas kecil. Mengatasi dalam hal ini bukan dalam kerangka penindasan
atau pemaksaan tetapi dalam kerangka tujuan yang lebih besar. Dalam hal inilah perlu
adanya kesadaran dan kerelaan di antara warga bangsa untuk menanggalkan
kebanggaan-kebanggan yang bersifat lokal. Kerelaan tersebut juga merupakan
salah satu wujud realisasi nasionalisme. Kenyataan membuktikan bangsa Indonesia
dapat melalukan hal itu. Bagaimana suku Jawa, Sunda, dan suku-suku besar
lainnya di Indonesia harus menanggalkan kebanggaan meraka dengan bahasanya dan
untuk rela menggunakan bahasa Melayu, seperti tergambar dalam MdC
“Kami bersedia menerima
bantuan dari siapa juga dalam bentuk apa juga, dan membayar yang pantas pantas,
kata Sadeli, “tetapi kami tidak mencari serdadu sewaan. Putra-putra Indonesia
cukup banyak yang bersedia memberikan perngorbanan setinggi-tingginya untuk
kemerdekaan bangsanya.
Mungkin tidak setiap pribadi orang Indonesia adalah
manusia baru. Tetapi jumlah mereka besar. Besar sekali untuk dapat
mempengaruhi jalannya sejarah di negeri kita. Cukup banyak untuk mengatasi
batas-batas daerah dan kesukuan, hingga perkembangan kebangsaan kita dapat
mereka dorong sampai tercapai satu bangsa, satu bahasa, satu daerah, satu
tanah air.
Kesadaran
diri sebagai bangsa yang menghendaki kebebasan dalam menentukan nasib bangsanya
harus dijadikan motivasi dasar dalam perjuangan. Perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan perlu didukung oleh motivasi kolektif yang kuat. Dengan motivasi
itulah perjuangan yang dilakukan akan berharga dan bernilai. Apa yang
diperjuangkan, bagaimana setelah apa yang diperjuangkan itu tercapai? Apa yang
akan dilakukan? Semua itu menjadi bagian yang tak terelakkan dari perjalanan
revolusi. Revolusi harus mengandung nilai, harapan, dan janji. Gagasan itulah
yang ditampilkan oleh Mochtar dalam MdC.
Revolusi bangsamu harus
mengandung unsur dan nilai, harapan dan janji yang dapat membuat dunia
terbangun dan memperhatikannya. Apakah kalian nanti setelah merdeka, lalu
menjadi negara supernasionalis mau kembali pada kejayaan Sriwijaya dan
Majapahit. Apakah di Indonesia merdeka nanti mereka yang tak menyetujui doktrin
resmi akan dikejar-kejar, ditangkapi dan disiksa?
Aku pikir di sana letak
tragedi bangsa kita. Karena terjajah begitu lama, kita kehilangan keaslian kita
sendiri.” Hingga dalam revolusi, kita bertindak seperti badut-badut dalam
opera. “Lihatlah. Mereka hanya bagai kanak-kanak yang mendapatkan permainan
baru. Berapa lama semangat ini bisa bertahan
Kenyataan menunjukkan bahwa
dalam segala hal Indonesia pernah berada di bawah tekanan bangsa penjajah.
Modal utama dalam perjuangan selain pengorbanan, kebersamaan dan yang tak kalah
penting adalah adanya keyakinan dalam diri setiap pejuang revolusi. Keyakinan tersebut berada dalam kesadaran
bangsa Indonesia. Di samping itu juga dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa
perjuangan Indonesia pasti mendapat perlindungan dari Tuhan, karena bangsa
Indonesia berada dipihak yang benar.
Keyakinan itulah yang tergambar dalam MdC.
Meskipun demikian
perjuangan kita tetap berat. Karena Belanda rupanya menganggap prinsip-prinsip
kemerdekaan hanya berlaku buat diri mereka. Tapi kita akan menang, pasti
menang, karena kita bergerak dengan arus sejarah
Insya Allah, jika kita
semua dipanjangkan umur oleh Tuhan, kita akan sama-sama menikmati hasil
kemerdekaan.
“Bagaimana Pak Sadeli
dapat begitu yakin”
Yakin karena keyakinan
pada kebenaran perjuangan kita. Tetapi juga yakin karena perhitungan
Kemerdekaan pada intinya menyangkut aspek dasar dari manusia dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, perjuangan kemerdekaan harus tetap menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan harus mendasari dan sekaligus
mengatasi setiap tindakan dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Hal itulah yang
tergambar dalam MdC.
Revolusi kita adalah
revolusi untuk kemerdekaan dan kemudian manusia. Kita bukan binatang buas yang
mengamuk secara gelap mata. Dalam peperangan pun kemanusia kita tak boleh kita
tinggalkan
Dia merasa tali-tali
kemanusiaan mengikatnya dengan ratusan juta manusia yang tersebar di permukaan
bumi. Manusia-manusia yang meskipun berbeda warna kulitnya atau bangsa, agama
mupun kebudayaan, pada dasarnya sama. Yang membedakan mereka hana jalan
sejarah, masyarakat, dan kebudayaan masing-masing
b.
Nasionalisme Gelombang Kedua: Nasionalisme Pasca-Kemerdekaan
Gagasan nasionalisme yang terkategori pada
nasionalisme gelombang kedua meliputi (a) makna hakiki kemerdekaan, (b) merdeka
bagi rakyat kecil, (c) jaminan
kebebasan, (d) identitas kebangsaan, (e) perilaku kepemimpinan, (f) penegakan
kebenaran, dan (g) penghapusan penindasan. Dalam MdC makna kemerdekaan dimaknai sebagai berikut.
Tetapi merdeka tidak hanya
berarti gubernur jenderal Belanda diganti orang Indonesia. Bukan begitu.
Merdeka berarti perubahan bagi penghidupan lahir dan batin rakyat. Merdeka
berarti semua rakyat sama tinggi dan sama rendah, sama-sama punya hak dan
kewajiban yang serupa.
Merdeka juga berarti
manusia Indonesia mesti bebas dari kelaparan, kejahilan, kebodohan, ketakutan
dan pendindasan oleh siapapun.
Dalam novel MdC, TAE, BBM BBR, dan BPM juga
dikemukakan makna kemerdekaan di mata rakyat. Kesederhanaan pemikiran rakyat
tentang makna kemerdekaan itu digambarkan dengan gamblang dalam novel-novel
tersebut.
Biar kami orang kecil
jangan ditindas. Supaya dapat hidup baik. Bisa beli baju. Beli obat kalau
sakit. Bisa punya rumah dan lebih penting supaya anak-anak kami bisa sekolah,
bisa maju
Mereka ingin penghidupan
jajahan ini lenyap. Sejak itu mereka tidak hendak membantu kita. Sebaliknya
mereka membantu tentara Nippon yang dianggapnya datang merobohkan penjajahan.
Bagaimana mereka dapat disalahkan. Mereka tidak mengerti dan tak dapat melihat
jauh. Yang mereka lihat, hanya Nippon datang tentu akan mendapat bantuan. Orang
Nippon diterima sebagai orang yang akan memerdekakan negeri ini.
Memang sudah tiga tahun
lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau, dan kata para pemuda dan
pemimpin-pemimpin yang bertekad menghadang-hadangi Belanda masuk, belum pernah
terjadi seperti ini, bahkan di zaman Jepang sekalipun
Apakah orang miskin
menderita itu juga sama nasibnya, kalau sengsara yang terus ditimbuni
malapetaka demi malapetaka, sedangkan yang kaya kuasa terus saja ditimbuni bukit-bukit
harta dan kesempatan
Kutipan di atas memberikan
gambaran tentang keinginan merdeka yang sangat sederhana di mata rakyat kecil.
Kesederhanaan dalam memandang arti merdeka bahkan kadang-kadang tampak esktrim
sekali. Rakyat kecil tidak peduli siapa pun yang memimpin dan menguasai negeri
ini. Apakah itu Belanda, Jepang, bangsa Indonesia, atau PKI sekalipun. Yang
penting kebutuhan mereka yang sangat sederhana itu dapat terpenuhi. Mereka
berpikir apa gunanya merdeka apabila kehidupan ternyata lebih sulit penuh
dengan ketidakpastian.
Bila
dihubungkan dengan nasionalisme dan wawasan kebangsaan, pemahaman kemerdekaan
bagi rakyat sebagaimana digambarkan di atas merupakan suatu fenomena
tersendiri. Bagi rakyat nasionalisme dan kebangsaan harus berkaitan dengan
jaminan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.
Indonesia adalah negara dan
bangsa yang penuh keanekaragaman. Watak kebangsaan harus tercermin dalam upaya
menciptakan iklim demokratis yang dapat memberikan kembali hak-hak politik bagi
masing warga atau kelompok, agar mereka mencari dan menemukan identitas
dirinya, seperti tergambar dalam MdC.
Sadeli berpendirian bahwa
manusia harus dihormati sebagai perorangan. Kebahagiaan adalah nilai dan
martabat manusia dan ini tak boleh ditundukkan di bawah negara atau penguasa
Juga amat luas tersiat,
yang dilancarkan oleh Roosevelt dan Churchill tentang prinsip-prinsip empat
kebebasan, yaitu bebas dari rasa ketakutan, bebas dari kelaparan, kebebasan
beragama, dan kebebasan berpikir serta menyatakan pendapat
Di bumi Indonesia yang
merdeka, janganlah ada lagi tempat-tempat buangan politiik seperti Boven Digul
atau penjara-penjara tempat menahan tahanan politik. Janganlah ada perburuan
terhadap orang-orang yang berbeda agama atau keyakinan politiknya.
Identitas kebangsaan tidak
semata-mata berkaitan dengan konsep kultural. Kebangsaan lebih merupakan konsep
politis. Kebangsaan sebagai konspe politik menjamin kebebasan bagi warga atau
kelompok untuk secara bebas menghayati keragaman kulturalnya.[14]
Justru karena kebangsaan itu merupakan konsep politik, maka wawasan kebangsaan
tidak mengharuskan adanya suatu identitas yang pasti dan jelas, seperti yang
terungkap dalam MdC, TAE, BBR berikut.
Bagaimanapun kita ingin mendapat
gambaran suatu persatuan yang utuh dan bulat. Kita harus realistis melihat
fakta-fakta yang ada. Perbedaan berpikir disebabkan karena latar belakang
agama, adat istiadat, masyarakat, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya memang ada
di antara kita
Akan tetapi Sadeli juga mendapat
kesan, bahwa Umar Yunus sama juga sebenarnya dengan dirinya, sama juga dengan
jutaan manusia Indoneisa lain, yang sama-sama mencari identitas diri dan tempat
baru di dalam dunia ini, di tengah umat manusia.
Saya bukan orang yang hendak menerima
segala apa saja dari Barat. Banyak juga nilai-nilai kebudayaan asli kita yang
harus kita pertahankan, karena merupakan nilai-nilai gairah manusia yang
membuat hidup menarik dan berbahagia
Fenomena sosial politik yang terjadi saat ini
sebenarnya sudah digambarkan oleh para sastrawan. Dalam penyelenggaraan negara orang lebih cenderung menjadi penguasa
daripada menjadi pemimpin. Kekuasaan menjadi senjata utama dalam segala
tindakannya. Sementara itu perilaku kepemimpinan semakin ditinggalkan.
Perilaku
kepemimpinan itulah yang dipertanyakan oleh Mochtar Lubis melalui MdC dan TAE. Bagaimana perilaku pemimpin-pemimpin kita seandainya
kemerdekaan sudah ada di tangan. Apakah semangat patriotisme dalam masa
revolusi masih tetap terjaga terus atau bahkan sebaliknya semangat revolusioner
yang muncul pada saat itu hanya karena semangat sesaat dan kondisional.
Tak mungkin, tak masuk
akal pemimpin-pemimpin kita yang kini hidup serba sederhana, dan yang telah
membuktikan kesediaan mereka berkorban untuka kemerdekaan akan mengkhianati
revolusi
Kami beruntung punya
pemimpin yang dengan perjuangan pribadinya memberi teladan yang baik pada
rakyat. Mereka orang yang hidup sederhana, tak suka kemewahan, tak gila harta.
Dan terutama sekali mereka adalah pejuang kemerdekaan yang teruji.
Engkau percaya apa tidak
dengan kekuatan bangsa kita?
Percaya. Jika ada pimpinan
yang baik. Tetapi di sana pula letak kelemahan tenaga perjuangan kita. Selama
perjuangan kita hanya bisa jalan karena massa yang kenoa pesona. Karena pesona
dan bukan keinsyafan tiap-tiap orang. Selama itu ada kelemahan
Salah satu sikap dan watak nasionalisme adalah selalu menegakkan
kebenaran. Kebenaran tidak hanya untuk mereka yang berkuasa tetapi untuk siapa
pun yang menurut aturan hukum dan norma berada dalam jalur yang sudah
semestinya. Menurut Mochtar Lubis, dalam novel MdC dan TAE, keberanian dan keadilan bukan
semata-mata konsep yang bersifat abstrak. Kebenaran dan keadilan seakan
mempunyai jiwa sendiri dan selalu akan ada di mana dan kapan saja.
Seorang satria tak mau
berdusta, seorang satria harus setia. Seorang satria pembela kebenaran dan
keadilan. Seorang satria berani berjuang dengan wajah dan dada terbuka
Kebenaran dan keadilan
bukan pengertian yang abstrak belaka. Mereka punya jiwa sendiri, yang
menyebarkan benihnya di tempat-tempat yang tak disangka
Itulah yang kita
perjuangkan, supaya di negeri kita yang merdeka jangan lagi ada manusia diperas
manusia atau rakyat diperas penguasa dan ditindas negara. Supaya di negeri kita
ini kebohongan jangan dijadikan kebenaran, kezaliman dijadikan keadilan,
perbudakan dikatakan kemerdekaan, penderitaanm disebut kemakmuran, yang batil
disulap jadi halal
Kemerdekaan
juga berarti menghapus penindasan, karena penindasan
itulah yang diperangi dan dihapuskan pada saat memperjuangkan kemerdekaan. Hal itulah yang tergambar dalam MdC.
Di bumi Indonesia yang
merdeka, janganlah ada lagi tempat-tempat buangan politiik seperti Boven Digul
atau penjara-penjara tempat menahan tahanan politik. Janganlah ada perburuan
terhadap orang-orang yang berbeda agama atau keyakinan politiknya.
Itulah yang kita
perjuangkan, supaya di negeri kita yang merdeka jangan lagi ada manusia diperas
manusia atau rakyat diperas penguasa dan ditindas negara. Supaya di negeri kita
ini kebohongan jangan dijadikan kebenaran, kezaliman dijadikan keadilan,
perbudakan dikatakan kemerdekaan, penderitaanm disebut kemakmuran, yang batil
disulap jadi halal
c. Nasionalisme Gelombang Ketiga:
Nasionalisme Indonesia Baru
Nasionalisme gelombang ketiga tidak hanya
merujuk pada batas wilayah kenegaraan dan kebangsaan. Nasionalisme kini lebih
berarti pada hikmah jati diri perjuangan melawan sang kuasa lalim baik
perorangan maupun struktural. Perjuangan nasionalisme ditujukan pada penciptaan
hari depan yang lebih baik dan lebih adil. Hari depan tersebut tidak hanya
untuk satu wilayah tertentu saja tetapi bersifat universal. Ketika sekelompok
orang berjuang untuk mempertahankan hutan sebagai paru-paru dunia, maka itu
merupakan salah satu bentuk nasinalisme baru. Perjuangan tidak lagi dibatasi
oleh kelompok masyarakat bangsa. Perjuangan tersebut bersifat universal
bersama-sama dengan kawan sesama segenerasi muda dari segala penjuru dunia.
Sesuai dengan uraian di atas,
nasionalisme gelombang ketiga meliputi butir-butir (a) nasionalisme terbuka,
(b) tujuan akhir perjuangan, (c) kecintaan pada kedamaian, (d) sejajar dengan
bangsa lain, (e) patriotisme baru, (f) penguasaan Ipteks, dan (g) sikap dan semangat
kemandirian.
Dalam
novel BBR, Mangunwijaya mencoba
menampilkan suatu generasi pasca-Indonesia. Bowo adalah sosok generasi yang
mewakili zamannya. Ketika berbicara tentang nasionalisme, maka dia tidak harus
terperangkap dalam batas wilayah geografis semata-mata. Dengan bekal sebagai
ahli biologi mikro dia ingin berbakti pada umat manusia. Sikap tersebut disadari
sepenuhnya sebagai bagian dari sikap dan wawasan nasionalisme. Dia mengambil
analogi dengan kehidupan Albert Einstein sebagai salah satu bentuk nasioalisme.
Einsten yang seorang Yahudi tidak harus bermukim di Israel untuk menunjukkan
nasionalismenya tetapi dia memilih di Amerika. Barangkali bila dia tetap di
Israel sebagai Yahudi dia tidak dapat melakukan sesuatu yang berguna bagi umat
manusia.
Tentang Mas Bowo dan
Agatha? Pasangan ideal, Oost-Indisch-Yunani.
Anak-anak mereka berbangsa Indoyun, pasca Indonesia, cucu-cucu mereka,
Ndoyuntah, Indonesia – Yunani – entah.”
Kau dan aku sudah
pascanasionalis. Pasca-Indonesia. Kita tetap orang Indonesia, seperti Moh Hata
tetap manusia Minang juga, dan Soekarno tetap orang Jawa, walaupun hidup mereka
tidak di lingkungan Bukittinggi atau Blitar.
Kecintaan
pada kedamaian juga merupakan salah satu perwujudan dari nasionalisme. Hal itu
sesuai dengan konsep nasionalisme yang humanis dan berperikemanusiaan. Dalam pandangan
humanisme, manusia pada hakikatnya sama.
Perbedaan-perbedaan yang ada hanya sebatas pada aspek lahiriah seperti
warna kulit bentuk muka, rambut, bahasa, dan sebagainya. Gagasan tentang cinta
kedamaian dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Sadeli
dalam MdD.
Manusia yang berkebudayaan
dan beradab tinggi mengelakkan pemakaian kekerasan untuk memecahkan persoalan
antara mereka, juga antar bangsa
Kita harus mengajarkan
bahwa paksaan atau kekerasan adalah cara-cara yang aling primitif untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan antara manusia. Kita harus meneguhkan tradisi
musyawarah utnuk menyelesaikan pertikaian antara kita.
Sadeli juga merasa
kesatuan bumi, satunya dunia, dan satunya umat manusia. Jika seluruh umat
manusia benar-benar menyadarinya, tidaklah lagi perlu ada peperangan. Dan damai
akan turun ke bumi dan manusia akan bahagia dalam persaudaraan.
Kesejajaran dengan bangsa lain
merupakan salah satu butir nasionalisme gelombang ketiga. Hal ini karena nasionalisme Indonesia mewajibkan warganya untuk melakukan kerja sama
antar bangsa. Kerja sama tersebut dalam kerangka penciptaan perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat harus mampu
menunjukkan kemampuannya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, manusia Indonesia
harus tetap berusaha mengejar kemakmuran yang dicapai pihak lain, seperti yang
tergambar dalam MdC TAE, dan BBR.
Tepat demikianlah
pendirian kami. Politik bebas ke luar, tak mengikatkan diri pada sesuatu blok.
Hendak bersahabat dengan semua bangsa dalam kerja sama, dalam perdamaian dan
kemerdekaan. Di dalam negeri kami hendak membina kemerdekaan manusia,
kerakyatan, dan kedilanm sosial.-
Belum waktunya pikiran-pikiran kemanusiaan
berlaku dalam perhubungan bangsa-bangsa dewsa ini. Masih saja perhubungan itu
dikuasai oleh kepentingan masing-masing bangsa
Mas Candra mungkin tidak merasa, tetapi kau
lambang dan pengejawantahan hari depan, manusia angkasa yang bercita-cita
menuju ke planet lain
Indonesia? Sorry Neti.
Memang bukan noda untuk tetap jadi manusia tradisional. Akan tetapi panggilan
sejati bagi kita generasi sekarang, ini
bukan di masa lampau. Hari depan, hari depan, paling tidak hari kini.
Demikian kini sama, hanya
mengarah mendalam: generasi kita adalah burung-burung rantau yang sedang
terbang ke benua-benua lain
Sikap
patriotisme baru tampak pada perilaku Neti dalam novel karya Mangunwijaya, BBR. Netti adalah sosok wanita pengabdi
kaum gelandangan, anak miskin dan orang-orang terlantar. Baginya tanah air
adalah sebuah tempat di mana tidak pernah terjadi penindasan,
kesewenang-wenangan.
Tanah air adalah di mana
ada kesayangan dan saling tolong menolong
Ah mengapa ada manusia yang kalah?
Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan satu dunia sesudah perang
kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata “kalah dan menang: dari kamus hati dan
sikap kita
Patriotisme bukan seperti
yang diindoktrinasikan orng-orang kolot
zaman agraria itu. Aku tetap cinta tanah air, tetapi tidak dalam arti birokrat.
Cinta saya kepada tanah air dan bangsa kuungkapkan secara masa kini, zaman
generasi pascanasionalisme.
Jika aku menjadi orang,
pribadi, sosok yang jelas, yang menyumbang sesuatu yang berharga dan indah
kepada bangsa manusia, disitulah letak kecintaanku kepada bangsa dan nasion
Nasionalisme
baru (nasionalisme gelombang ketiga) juga berarti merebut tempat, duduk sama
rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa lain yang maju. Seluruh komponen
bangsa harus berjuang bersama-sama dalam rangka kemajuan. Salah satu upaya yang
dapat ditempuh adalah melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Hal itulah yang
digambarkan dalam MdC.
Sadeli yakin bahwa nilai-nilai
manusia Indonesia, martabat manusia Indonesia Dan kemuliaan manusia Indonesia
Yang hendka direbutnya adalah man Ind baru – manusia Ind yang meguasai ilmu,
yang berabni karena benar, yang cakap menghadapi manusia lain di duynia.
Manusia Indonesia Yang hendak membina persaudaraan dengan manusia lain di alam
kemerdekaan, perdamaian, kemakmuran dan kebahagiaan.
Kita harus pandai mengurus diri kita
sendiri. Coba pikir bangsa kita begitu banyak ketinggalan dalam segala lapang.
Pendidikan adalah salah satu hal penting dalam menggapai kemajuan.
Selain itu penting pula pendidikan.
Tidak saja pendidikan resmi di sekolah, tetapi juga pendidikan yang dapat
diberikan pada para pemimpin secara pribadi, agar hidupnya sehari-hari bersih,
sederhana dan jujur. Kesederhanaanya hatinya, kedermawanannya, kebesaran
jiwanya merupakan teladan yang baik bagi rakyat.
Dalam
rangka upaya penguasaan ilmu dan teknologi, mutlak perlu perhatian di bidang
pendidikan. Menurut Alisyahbana (1991) tidak ada cara lain untuk mengatasi
keterbelakangan bangsa Indonesia kecuali harus mengubah mental dan jiwa rakyat
melalui pendidikan. Diperlukan suatu transfer
of value system dari kebudayaan ekspresif menuju ke kebudayaan progresif.
Melalui pengembangan kebudayaan yang progresif akan dicapai tingkat pendidikan
yang tinggi, penguasaan ilmu dan teknologi sehingga terwujud pertanian,
pertambangan dan industri yang produktif dan efisien yang membawa kesejahteraan
bagi rakyat. Semua itu pada dasarnya juga merupakan bagian dari realisasi sikap
nasionalisme dalam arti yang luas.
Nasionalisme baru sekarang ini lebih
bersifat terbuka dan humanisme. Kenyataan membuktikan bahwa sebagai bangsa,
bangsa Indonesia tidak mungkin hidup sendiri. Bangsa Indonesia harus menjadi
bagian integral dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Persoalan
yang muncul dan saat ini masih relevan untuk dibicarakan adalah bagaimanakah
kita melenyapkan segala kehinaan yang melekat pada diri bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang terbelakang. Obsesi itu harus ada di setiap warga bangsa
Indonesia.
Sangat diperlukan sikap dan semangat
kemandirian dalam membangun bangsa dan negara. Kemandirian bukan berarti harus
menutup diri dengan bangsa lain, tetapi sebaliknya sikap kemandirian yang
memungkinkan pengembangan jati diri sebagai bangsa yang mampu berdiri sejajar
dengan bangsa lain di dunia. Kita tetap harus menjalin hubungan dengan bangsa
lain. Akan tetapi ketika menentukan sikap, memutuskan pilihan yang menyangkut
kepentingan bangsa sendiri haruslah berdasarkan idialisme kemandirian.
Karena kami mau hidup sebagai manusia
sewajarnya -- merdeka dan bebas. Menjadi
tuan diri kami sendiri. Dan bukan budak bangsa lain. Juga bukan budak bangsa
sendiri. Karena kami mau hidup sederajat dengan manusia merdeka lain di dunia
ini
Bagi kami sekarang yng penting adalah
perjuangan kemerdekaan kami, cita-cita kebebasan kami. Cita-cita kemanusian
kami, kami yakin bersatu dengan Tuhan dalam perjuangan kami.
Manusia bukan ternak yang
ingin perutnya kenyang. Di samping bebas dari kelaparan, dia juga harus bebas
berpikir. Dia harus punya kemerdekaan mengadakan pilihan. Inilah hakikat
kemerdekaan manusia, untuk menggenggam nasibnya sendiri dalam tangannya.
Orang punya keyakinan bahwa nasib
manusia berada di tangannya sendiri. Orang dapat berjuang terus meninggikan
tingkat kesadaran kemanusiaannya. Melangkah terus menghapuskan garis-garis
pemisah kebangsaan, warna kulit, agama, ideologi, dan membina satu persaudaraan
umat manusia.
Berbagai uraian yang telah
dikemukakan di atas memberikan gambaran yang mendasar bahwa nasionalisme
merupakan konsep yang luas. Pengertiannya tidak dapat hanya dibatasi dengan
batasan kewilayahan maupun ideologi kelompok. Nasionalisme adalah roh yang
menggerakkan seluruh sepak terjang semua elemen dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nasionalisme terbentuk dari
interaksi antarelemen di dalam suatu bangsa dan tanggapan bangsa itu terhadap
lingkungan, sejarah, dan cita-citanya.[15]
Gagasan itulah yang dipahami oleh sejumlah pengarang Indonesia yang kemudian
diekspresikan dalam novel-novel yang ditulisnya.
Dari
enam buah sampel novel yang dikaji, tampak bahwa gagasan nasionalisme dan
wawasan kebangsaan diekspresikan oleh pengarang melalui struktur naratif
seperti tampak pada cerita yang bertokoh dan berlatar masa revolusi Indonesia,
di samping itu juga tampak pada sikap,
perilaku, dan gagasan tokoh, juga
deskripsi narator.
E. Penutup
Gagasan nasionalisme dan
wawasan kebangsaan yang terdapat dalam novel Indonesia modern tampak pada
struktur naratif yang menggambarkan (a) jiwa patriotisme, (b) rela berkorban,
(c) strategi perjuangan, (d) kebersamaan dalam perjuangan, (e) motivasi dan
makna perjuangan, (f) keyakinan dalam perjuangan, dan (g) nilai kemanusiaan
dalam perjuangan, (h) makna hakiki kemerdekaan, (i) merdeka bagi rakyat kecil,
(j) jaminan kebebasan, (k) identitas kebangsaan, (l) perilaku kepemimpinan, (m)
penegakan kebenaran, dan (n) menghapuskan penindasan, (o) tujuan akhir
perjuangan, (p) kecintaan pada kedamaian, (q) sejajar dengan bangsa lain, (r)
sikap patriotisme baru, (s) penguasaan Ipteks, dan (t) sikap dan semangat
kemadirian. Dari berbagai butir gagasan nasionalisme
tersebut menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan makna nasionalisme dan
wawasan kebangsaan. Novel Indonesia modern mengandung gagasan nasionalisme dan
wawasan kebangsaan yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (a)
nasionalisme gelombang pertama: nasionalisme pra-kemerdekaan, (b) nasionalisme
gelombang kedua: nasionalisme pasca-kemerdekaan, dan (c) nasionalisme gelombang
ketiga: nasionalisme Indonesia-baru. Hal itu memberikan implikasi bahwa novel
Indonesia modern dapat dijadikan sebagai salah satu srana atau bahan dalam
upaya mengembangkan pemahaman tentang nasionalisme dan wawasan kebangsaan bagi
generasi muda.
Dalam upaya pemanfaatan novel
sebagai bahan atau sarana untuk menanamkan nasionalisme pada generasi muda
harus disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi nyata yang dihadapi.
Dengan demikian gagasan nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang terdapat di
dalam novel masih memerlukan pemahaman dan interpretasi yang komprehensif agar
dapat tetap dinamis dan sesuai dengan situasi kekinian.
Endnote
[1] Wellek, rene dan Austin Warren. 1990. Teori
Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
[2] Damono, Sapardi Djoko. 1988. Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: P3B Depdikbud
[3] Esten, Mursal. 1982. Sastra Indonesia
dan Tradisi Subkultur. Bandung: Penerbit Angkasa.
[5] Refly, H.Z. 1993. “Nasionalisme, Universalisme, dan Struktur
Kesadaran,” Makalah dalam Panel Forum Indonesia Pasca-Nasional diselenggarakan
di Universitas Gadjah Mada, 21-22 april 1993.
[6] Mustopo, M. Habib. 1983. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
[7] Sindhunata. 2000. “Politik
Kebangsaan dan Keadilan Sosial”. Kompas, Juli 2000.
[8] Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[9] Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan
Nasionalisme di Indonesia. Jakarta: Gramedia
[10] Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai
[11] Soedjatmoko. 1991. “Nasionalisme
sebagai Prespek Belajar”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari 1991.
[12] Witoelar, Rahmat.
1991. “Hati Nurani Rakyat, Esensi Nasionalisme Indonesia”. Prisma No. 2
Tahun XX Februari 1991.
[13] Moerdiono 1991. “Menuju Nasionalisme
Gelombang Ketiga”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari 1991.
[14] Sindhunata. 2000. “Politik
Kebangsaan
[15] Soenarto. 2000.
Perkembangan Nasionalisme Indonesia Pasca Kemerdekaan. Makalah dalam Smeinar
“Menyambung Nasionalisme bagi Indonesia Kini dan Masa Depan. Universitas
Janabadra Yogyakarta.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin, (ed.) 1990. Sekitar Masalah
Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Penerbit YA3
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1991. “Kerja
Lebih Keras dan Raih yang Terdepan”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari
1991.
Anderson, Benedict. 1993. Komunitas-Komunitas
Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme.
Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damono, Sapardi Djoko. 1988. Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: P3B Depdikbud
Esten, Mursal. 1982. Sastra Indonesia
dan Tradisi Subkultur. Bandung: Penerbit Angkasa.
Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung
Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keith Foulcher. 1991. Pujangga Baru:
Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Goldman, Lucien. 1973. “Genetic
Structuralism in the Sociology of Literature,” dalam Elisabeth Burns dan Tom
Burn (ed.) Sociology of Literature and Drama. Middlesex: Penguin.
Hasan, Fuad. 1993. “Catatan Perihal Sastra
dan Pendidikan” dalam Warta HISKI No. 9/10 Desember.
Kuntowijoyo. 1987. Transformasi
Masyarakat dan Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mustopo, M. Habib. 1983. Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan.
Moerdiono 1991. “Menuju
Nasionalisme Gelombang Ketiga”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari 1991.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.
Refly, H.Z. 1993. “Nasionalisme,
Universalisme, dan Struktur Kesadaran,” Makalah dalam Panel Forum Indonesia
Pasca-Nasional diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, 21-22 april 1993.
Sindhunata. 2000. “Politik
Kebangsaan dan Keadilan Sosial”. Kompas, Juli 2000.
Soedjatmoko. 1991. “Nasionalisme
sebagai Prespek Belajar”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari 1991.
Soenarto. 2000. Perkembangan Nasionalisme
Indonesia Pasca Kemerdekaan. Makalah dalam Smeinar “Menyambung Nasionalisme
bagi Indonesia Kini dan Masa Depan. Universitas Janabadra Yogyakarta.
Wellek, rene dan Austin Warren. 1990. Teori
Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Witoelar, Rahmat. 1991. “Hati Nurani
Rakyat, Esensi Nasionalisme Indonesia”. Prisma No. 2 Tahun XX Februari
1991.